Beranda | Artikel
Wahabi Orang Goblok ! (Sebuah Pencerahan)
Jumat, 5 Juni 2020

Wahabi Orang Goblok ! (Sebuah Pencerahan) 

Oleh: Ustadz DR. Firanda Andirja Abidin, Lc. MA.
(DOWNLOAD PDF)

 Demikian ungkapan seorang Habib -semoga Allah menjaganya dalam kebaikan dan menunjukan kita ke jalan yang lurus-. Sang Habib berkata :

“Cuma kurang ajarnya wahabi begitu, wahabi bilang bapak-ibu  Nabi dalam neraka, ini orang-orang goblok, orang-orang tidak ngerti hadis”. (lihat menit 11.14)

Sebenarnya tidak perlu mengatakan orang yang berbeda pendapat dengan kita dengan julukan “goblok”, “tidak ngerti hadis”, atau tuduhan-tuduhan senada lainnya.

Sementara sang Habib sendiri ketika mengucapkan nama seorang perawi حَمَّاد بن سَلَمَة salah mengucapkan. Seharusnya Hammaad bin Salamah, lantas sang Habib mengatakan “Hammad bin Salaamah” (panjang-pendeknya keliru, karena seharusnya Hammaad yang panjang dan Salamah pendek, akan tetapi sang Habib malah memendekkan Hammad, dan memanjangkan Salaamah). Kekeliruan ini mengesankan “ketidakakraban” sang habib dengan ilmu hadis, terlebih lagi untuk berbicara tentang detail para perawi hadis.

Sang Habib juga mengatakan bahwa kedua orang tua Nabi Shallallahu ‘alaihi Wa Sallam adalah termasuk “ahlul fitrah” (dengan meng-kasrahkan huruf fa’), padahal yang benar adalah “fatrah”, dengan mem-fathahkan huruf fa’, sebagaimana datang dalam al-Quran.

Demikian juga sang Habib salah baca ayat, seharusnya:

﴿وَمَا كُنَّا مُعَذِّبِينَ حَتَّىٰ نَبۡعَثَ رَسُولٗا﴾

Namun sang Habib malah membacanya dengan: وَمَا كُنَّا الْمُعَذِّبِينَ, dengan menambahi alif-lam pada mu’adzdzibiin.

Berikut ini komentar tentang “pernyataan-pernyataan” sang Habib -hafizohullah- , semoga Allah memberi kita semua petunjuk kepada jalan yang lurus.

Prolog :

Status orang tua Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah menjadi topik perbincangan para ulama sejak dahulu. Sebagian mereka menggolongkannya dalam pembahasan akidah (seperti Imam Abu Hanifah dalam kitabnya al-Fiqh al-Akbar), namun kebanyakan ulama hanya membahasnya ketika mensyarah (menjelaskan) hadis-hadis yang berkaitan dengan hal tersebut (seperti hadis Anas bin Malik tentang ayah Nabi Shallallahu ‘alaihi Wa Sallam di neraka dan hadis Abu Hurairah tentang Nabi Shallallahu ‘alaihi Wa Sallam yang tidak diizinkan untuk memintakan ampunan bagi ibunya). Adapun para ahli tafsir mereka biasa membahas permasalahan ini ketika menafsirkan firman Allah ayat 113 dari surat at-Taubah.

Jika kita menghimpun pernyataan para ulama hingga zaman As-Suyuthi rahimahullah (sekitar abad ke-10 Hijriyyah), akan kita temukan bahwa mayoritas ulama menyatakan bahwa orang tua Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memang wafat dalam kondisi musyrik dan kesudahan keduanya adalah Neraka. Hanya segelintir ulama –di antaranya As-Suyuthi- yang berpendapat bahwa orang tua Nabi Shallallahu ‘alaihi Wa Sallam tidak berkesudahan di Neraka, atau bahwa keduanya kelak akan dihidupkan kembali untuk memeluk Islam sehingga dapat masuk Surga.

Namun anehnya, beberapa tahun belakangan ini muncul beberapa da’i provokator yang sepertinya menutup mata dari pendapat mayoritas ulama, dan malah serta-merta memprovokasi masyarakat dengan memberikan kesan bahwa siapa saja yang menyatakan bahwa orang tua Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam akan berakhir di Neraka adalah goblok nan tidak cinta kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Subhaanallah!

Provokasi da’i-da’i tersebut rupanya berhasil, sehingga sebagian masyarakat awam akhirnya mengambil tindakan, di antaranya mengusir sebagian da’i yang berpendapat bahwa orang tua Nabi Shallallahu ‘alaihi Wa Sallam wafat dalam kondisi musyrik. Semoga Allah mengampuni dan memberi petunjuk bagi mereka kepada jalan-Nya yang lurus.

Seandainya provokasi tersebut ingin dibalas, kita bisa mengatakan sebaliknya, bahwa “Keyakinan bahwa ayah Nabi Shallallahu ‘alaihi Wa Sallam dan seluruh nenek moyang Nabi Shallallahu ‘alaihi Wa Sallam tidak ada yang kafir adalah akidah Syiáh”.

Ar-Raazi (wafat 606 H) berkata :

قَالَتِ الشِّيعَةُ: إِنَّ أَحَدًا مِنْ آبَاءِ الرَّسُولِ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ وَأَجْدَادِهِ مَا كَانَ كَافِرًا وَأَنْكَرُوا أَنْ يُقَالَ إِنَّ وَالِدَ إِبْرَاهِيمَ كَانَ كَافِرًا وَذَكَرُوا أَنَّ آزَرَ كَانَ عَمَّ إِبْرَاهِيمَ عَلَيْهِ السَّلَامُ

Syiáh berkata, ‘Sesungguhnya tidak seorangpun dari ayah dan kakek-kakek Nabi shallallahu álaihi wasallam yang kafir.’

Mereka (Syiáh) juga mengingkari bahwa bapak Nabi Ibrahim álaihis salaam kafir, dan mereka berkata bahwa Azar (yang disebutkan dalam Al-Qur’an) adalah paman Nabi Ibrahim álaihis salaam (bukan bapaknya)” [Tafsir Ar-Raazi (13/32)]

Kemudian, jika menurut sang Habib setiap orang yang menyatakan orang tua Nabi Shallallahu ‘alaihi Wa Sallam wafat dalam keadaan musyrik adalah Wahabi yang goblok, maka berarti puluhan ulama (termasuk ulama mazhab Syafi’i) adalah sama dengan Wahabi yang goblok, di antaranya adalah Imam Al-Baihaqi, Imam An-Nawawi, Imam Ibnu Katsir, dan Imam Adz-Dzahabi. Ya, sesuai pernyataan sang Habib -hafizohullah-  mereka semua ini “goblok tidak ngerti hadis”. Padahal jajaran nama di atas adalah deretan ulama tokoh besar mazhab Syafi’i dan termasuk ulama pionir ilmu hadis!!

Berikut ini daftar para ulama Islam dari berbagai mazhab fikih dan dari berbagai kurun (hingga abad ke 9/awal abad ke 10) yang menyatakan bahwa orang tua Nabi Shallallahu ‘alaihi Wa Sallam wafat dalam keadaan musyrik.

Pertama : Ulama Mazhab

 MalikiHanafiSyafi’iHanbaliAhlul Hadis
1Al-Qadhi Íyaadh (544H)

Beliau mengatakan dalam Ikmaal al-Mu’lim bi Fawaidi Muslim (1/591) bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi Wa Sallam hendak menghibur orang yang sedih tersebut, dengan memberitahukan kepadanya bahwa nasib ayah Beliau Shallallahu ‘alaihi Wa Sallam sama dengan nasib ayahnya, yakni kesudahan keduanya adalah di neraka.

 

Abu Hanifah (150H)

Beliau mengatakan bahwa kedua orang tua Nabi  Shallallahu ‘alaihi Wa Sallam meninggal di atas kekafiran. (Demikian dinukil oleh Ibnu Ábidin dalam Radd Al-Muhtaar alaa ad-Durr Mukhtar (3/185), dan dinukil pula oleh Ali al-Qaari dalam Adillah Mu’taqad Abi Hanifah al-A’zham fii Abawai ar-Rasuul ‘alaihis sholaatu was salaam (1/37)

Al-Mawardi (450H)

Beliau berdalil akan sahnya pernikahan orang-orang kafir dengan pernikahan antara kedua orang tua dan nenek moyang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wa Sallam.

(Al-Haawi al-Kabiir, 9/301 dan 11/284)df

Abu Ali Al-Hasyimi Al-Bagdadi (428H)

(Al-Irsyaad ila Sabiil ar-Rasyaad, 285)

Ibnu Majah (273H)

Dalam Sunan-nya, beliau membawakan hadis yang mengisahkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi Wa Sallam menziarahi kuburan ibunya dalam: “Bab: Tentang menziarahi kuburan orang-orang musyrik” (Sunan Ibnu Maajah, no. 1572)

2Abul Ábbas Al-Qurthubi (656H)

(Al-Mufhim li maa Asykala min Talkhiis Kitaab Muslim, 1/46-461)

At-Thahawi (321H)

Beliau menyebutkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi Wa Sallam ditegur ketika memohonkan ampunan untuk ibunya. (Syarh Musykil al-Atsar 6/285)

Al-Baihaqi (458H)

Beliau mengatakan: Bahwa orang tua Nabi  Shallallahu ‘alaihi Wa Sallam adalah penyembah berhala.

(Dalail An-Nubuwwah, Al-Baihaqi, 1/192)

Beliau Shallallahu ‘alaihi Wa Sallam juga mengatakan bahwa kedua orang tua Nabi Shallallahu ‘alaihi Wa Sallam adalah musyrik. (As-Sunan al-Kubra, 7/308, hal 14077)

Abul Muzhaffar, Yahya bin Hubairah (560H)

Beliau mengatakan:bahwa ayah Nabi Shallallahu ‘alaihi Wa Sallam di Neraka.

(Al-Ifshaah án Ma’aani as-Shihaah, 5/355-356)

 

 

An-Nasa’í (303H)

Dalam kitab Al-Mujtaba dan As-Sunan al-Kubra, beliau memberi judul bagi hadis yang mengisahkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi Wa Sallam menziarahi kuburan ibunya dengan judul : زِيَارَةُ قَبْرِ الْمُشْرِكِ

“Ziarah kuburan orang musyrik”

 

3Al-Qarafi (684H)

Beliau mengisyaratkan bahwa kedua orang tua Nabi Shallallahu ‘alaihi Wa Sallam di neraka. (Syarh Tanqih al-Fushul, hlm. 297)

Beliau juga menyatakan bahwa setiap yang meninggal di zaman Jahiliyah maka ia akan berakhir di Neraka.

As-Sarakhsi (483H)

Beliau berdalil akan sahnya pernikahan orang-orang kafir dengan pernikahan antara kedua orang tua dan nenek moyang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wa Sallam.

(Al-Mabsuuth, 4/224 dan 30/289)

Al-Juwaini (478H)

Beliau berdalil akan sahnya pernikahan orang-orang kafir dengan pernikahan antara kedua orang tua dan nenek moyang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wa Sallam.

(Nihaayah al-Mathlab fi Diraayah al-Madzhab, 12/289)

Ibnul Jauzi (597H)

Beliau menyatakan bahwa ayah Nabi Shallallahu ‘alaihi Wa Sallam meninggal dalam keadaan kafir, serta menyatakan bahwa hadis yang menyebutkan bahwa orang tua Nabi Shallallahu ‘alaihi Wa Sallam  akan hidup kembali adalah hadis maudhu’. (Al-Maudhu’aat, 1/283)

 
4 Al-Kasani (587H)

Beliau menyatakan bahwa kedua orang tua Nabi Shallallahu ‘alaihi Wa Sallam kafir. (Badai’ ash-Shanai’ fii Tartiib asy-Syarāi’, 2/272)

 

Abul Husain Al-Imrani Al-Yamani (558H)

Beliau berdalil akan sahnya pernikahan orang-orang kafir dengan pernikahan antara kedua orang tua dan nenek moyang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wa Sallam.

(Al-Bayaan fi Madzhab Al-Imam Asy-Syafi’i, 9/329)

Abu Muhammad Ibnu Qudamah (620H)

(Al-Mughni, 7/172)

 
5 Al-Manbaji 686H

Beliau memberi isyarat bahwa ibu Nabi Shallallahu ‘alaihi Wa Sallam tidak beriman.

(Al-Lubab fi al-Jam’ baina as-Sunnah wa al-Kitab 2/133)

Ar-Rafi’i (623H)

Beliau berdalil akan sahnya pernikahan orang-orang kafir dengan pernikahan antara kedua orang tua dan nenek moyang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wa Sallam.

(Al-Aziiz syarh al-Wajiiz, 8/97)

Abul Faraj Ibnu Qudamah (682H)

(Asy-Syarh al-Kabiir, 7/587)

 
6An-Nawawi (676H)

Beliau menyatakan bahwa orang tua Nabi Shallallahu ‘alaihi Wa Sallam wafat dalam kekafiran.

(Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim bin Al-Hajjaaj,  7/45)

Najmuddin, Sulaiman bin Abdul Qawiy (716H)

Lihat: Al-Intishaaraat al-Islaamiyyah fi Kasyf Syubah an-Nashraniyah, 2/714)

 

7  Ibnur Rif’ah (710H)

Beliau berdalil akan sahnya pernikahan orang-orang kafir dengan pernikahan antara kedua orang tua dan nenek moyang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wa Sallam.

(Kifaayah an-Nabiih, 13/210)

Ibnu Taimiyyah (728H)

Beliau mengambil kesimpulan bahwa kedua orang tua Nabi Shallallahu ‘alaihi Wa Sallam wafat dalam kekafiran. (Majmuu’ al-Fataawa, 4/325)

8  Ad-Dzahabi (748H)

Beliau sangat mengingkari hadis yang berisi keterangan bahwa orang tua Nabi Shallallahu ‘alaihi Wa Sallam dibangkitkan kembali untuk beriman. Beliau berdalil dengan sahihnya status hadis yang menerangkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi Wa Sallam dilarang dari meminta ampunan untuk ibunya. (Mizan al-I’tidal, 2/684)

Ibnul Qayyim (751H)

Beliau menyatakan bahwa setiap yang meninggal dalam kemusyrikan (bukan di atas agama Nabi Ibrahim) sebelum Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wa Sallam diutus, maka akhirnya adalah di Neraka, karena telah tegak hujjah baginya.

(Zaad al-Ma’aad, 3/599)

9Ibnu Katsir 774H

Beliau menyatakan bahwa kedua orang tua dan kakek Nabi Shallallahu ‘alaihi Wa Sallam termasuk penghuni Neraka.

(Al-Bidayah wa an-Nihayah, 2/342)

 

Burhanuddin Ibnu Muflih (884H)

(Al-Mubdi’ fi Syarh al-Muqni’, 6/176)

10Ibnul Khathib Al-Yamani (Ibnu Nuruddin As-Syafií) 825H

Beliau menyatakan bahwa pendapat yang mengklaim bahwa orang tua Nabi Shallallahu ‘alaihi Wa Sallam dihidupkan kembali, lalu kemudian beriman dan masuk Surga, adalah sikap ghuluw (ekstrem) dalam agama yang dapat berakibat kekufuran dan kesesatan. (Taisiir al-Bayaan li Ahkaam al-Qurán, 3/382)

11Ibnu Hajar Al-Asqalani (852H)

Beliau menyatakan bahwa ibu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wa Sallam wafat dalam keadaan musyrik. Adapun kakek dan ayah beliau Shallallahu ‘alaihi Wa Sallam, Ibnu Hajar menyatakan bahwa keduanya wafat pada masa fatrah dan akan diuji, sembari berharap bahwa keduanya akan lulus ujian keimanan tersebut.

(Fath al-Bari, 8/508, Al-Ujaab fi Bayaan al-Asbaab, 1/372, dan Al-Ishaabah, 7/201)

12Al-Biqa’i (885H)

Beliau menyatakan bahwa kesudahan Ahlul Fatroh yang wafat dalam keadaan tidak menganut agama Nabi Ibrahim adalah di neraka, diantaranya adalah ayah Nabi. (Nazhm ad-Durar fi Tanaasub al-Ayaat wa as-Suwar, 16/332)

 

 

Kedua : Ahli Tafsir

Ahli tafsir yang berpendapat bahwa orang tua Nabi Shallallahu ‘alaihi Wa Sallam meninggal dalam kondisi musyrik sangatlah banyak. Silahkan merujuk perkataan mereka ketika menafsirkan firman Allah :

﴿مَا كَانَ لِلنَّبِيِّ وَالَّذِينَ آمَنُوا أَنْ يَسْتَغْفِرُوا لِلْمُشْرِكِينَ وَلَوْ كَانُوا أُولِي قُرْبَى مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُمْ أَصْحَابُ الْجَحِيم﴾

[Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum kerabat(nya), sesudah jelas bagi mereka, bahwasanya orang-orang musyrik itu adalah penghuni Neraka Jahanam]  (Q.S. At-Taubah: 113)

Mereka semua menyebutkan bahwa sebab turunnya ayat ini adalah tentang Nabi Shallallahu ‘alaihi Wa Sallam yang tidak diizinkan untuk memohon ampunan bagi ibunya. Hal ini karena ibunda beliau wafat dalam kondisi musyrik.

Para ahli tafsir tersebut :

  • Muqatil bin Sulaiman (150H). [Tafsir Muqaatil bin Sulaiman (2/199)]
  • Ath-Thabari (310H). [Tafsir ath-Thabari (14/512 dan 2/560)]
  • Abul Laits As-Samarqandi (373H). [Bahr al-Úluum (2/91)]
  • Abu Ishaq Ats-Tsa’labi (427H) [Al-Kasyf wa al-Bayaan án Tafsiir al-Qurán (5/100-101)]
  • Abu Muhammad Al-Andalusi Al-Qurthubi (437H) (Al-Hidaayah ilaa Buluug an-Nihaayah (4/3171-3172)]
  • Al-Mawardi (450H) [An-Nukat wa al-Úyuun 2/409)
  • Al-Wahidi (468H) [Al-Wasiith fi Tafsiir al-Qur’an al-Majiid (2/528)]
  • Abul Muzhaffar As-Sam’aani (489H) [Tafsiir al-Qurán (2/352-353)]
  • Al-Baghawi (510H) [Maáalim at-Tanziil fi Tafsiir al-Qurán (2/394)]
  • Az-Zamakhsyari (538H) [Al-Kassyaaf (2/315)]
  • Ibnu Áthiyyah Al-Andalusi (542H) [Al-Muharrar al-Wajiiz (3/90)]
  • Ibnul Árabi (543H) [Ahkam al-Qurán (2/592)]
  • Fakhruddin Ar-Razi (606H) [Mafaatiih al-Ghaib/At-Tafsiir al-Kabiir (17/350)]
  • Al-Baidhawi (685H) [Anwaar at-Tanziil wa Asraar at-Ta’wiil (3/99)]
  • Abu Hayyan Al-Andalusi (745H) [Al-Bahr al-Muhiith (5/512)]
  • Ibnu Katsir (774H) [Tafsiir al-Qurán al-Ázhiim (4/222)]
  • Abu Hafsh Ali bin ‘Adil Al-Hanbali (775H) [Al-Lubab fii ‘Uluum al-Kitab (10/494)]
  • Nizhamuddin An-Naisaburi (850H) [Gharaib al-Qurán wa Raghaib al-Furqan (3/538)]

Adapun ulama yang mengatakan bahwa orang tua Nabi shallallahu álaihi wasallam tidak di neraka (bahkan sebagian menyatakan masuk surga) -sepanjang penilitian penulis- adalah :

Pertama: Abu Ábdullah Al-Qurthubi (671H) dalam kitabnya At-Tadzkirah  (hal 138-142) dan kitab Tafsir beliau (9/32).

Kedua: Ibnu Raslan Asy-Syafií (844H) dalam Syarh Sunan Abi Daud (18/285).

Ketiga: As-Suyuthi asy-Syafí (wafat 911 H) dalam beberapa kitabnya, di antaranya: Masaalik al-Hunafaa fi Waalidai al-Mushthafa, Ad-Duraj al-Muniifah fi al-Aabaa’ asy-Syariifah, Al-Maqaamah as-Sundusiyyah fi an-Nisbah al-Mushthafawiyyah, At-Ta’zhiim wa al-Minnah fi anna Abawai Rasulillaah fi al-Jannah, Nasyr al-Alamain al-Munifain fi Ihyaa’ al-Abawain asy-Syariifain, dan As-Subul al-Jaliyyah fi al-Aabaa’ al-Aliyyah.

Kesimpulan :

Ternyata mayoritas ulama menyatakan bahwa kedua orang tua Nabi Shallallahu ‘alaihi Wa Sallam wafat dalam kondisi musyrik. Dan ini adalah pendapat yang sesuai dengan zahir hadis Nabi Shallallahu ‘alaihi Wa Sallam yang sahih, sehingga tidak perlu untuk ditakwil-takwil dengan penafsiran yang terkesan dipaksakan.

Sebaliknya, yang menyatakan kedua orang tua Nabi Shallallahu ‘alaihi Wa Sallam wafat dalam kondisi Islam adalah segelintir ulama saja.

Jika memang ada yang ingin berpendapat dengan pendapat mereka, maka sah-sah saja. Yang menjadi sumber masalah adalah memprovokasi masyarakat Islam dengan mengesankan bahwa pendapat pertama adalah pendapat yang “kurang ajar” kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi Wa Sallam, menyakiti hati Nabi Shallallahu ‘alaihi Wa Sallam, “tidak tau adab” kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi Wa Sallam, atau menuduh “goblok” terhadap orang yang menyampaikan atau meyakini pendapat tersebut. Sikap-sikap demikian sudah jelas merupakan kezaliman kepada para mayoritas ulama Islam, yang mana mereka berpendapat demikian.

Justru sebaliknya, beradab kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi Wa Sallam adalah dengan meyakini, berkata, bertindak, dan bersikap sebagaimana sabda dan titah Nabi Shallallahu ‘alaihi Wa Sallam dalam hadis-hadisnya. Beliau Shallallahu ‘alaihi Wa Sallam sendiri yang telah menyatakan bahwa ayahnya berada di Neraka, dan beliau Shallallahu ‘alaihi Wa Sallam sendiri yang menyatakan bahwa beliau dilarang untuk memohonkan ampunan bagi ibunya. Para ulama menjelaskan bahwa pelajaran yang dapat dipetik dari hadis-hadis di atas, adalah bahwa “nasab dan keturunan” semata tidaklah akan menyelamatkan seseorang, dan bahwa modal utama setiap hamba adalah amal salih yang ia kerjakan. Nabi Shallallahu ‘alaihi Wa Sallam bersabda:

وَمَنْ بَطَّأَ بِهِ عَمَلُهُ، لَمْ يُسْرِعْ بِهِ نَسَبُهُ

“Siapa yang amalnya memperlambatnya, maka nasabnya tidak akan mempercepatnya” (HR. Muslim no.2699)

Nabi shallallahu álaihi wasallam berkata kepada putrinya Fatimah radhiallahu ánha:

وَيَا فَاطِمَةُ بِنْتَ مُحَمَّدٍ! سَلِينِي مَا شِئْتِ مِنْ مَالِي، لاَ أُغْنِي عَنْكِ مِنَ اللَّهِ شَيْئًا

“Wahai Fathimah putri Muhammad! Mintalah hartaku sekehendakmu (aku akan berikan padamu). (Akan tetapi) aku tidaklah bisa menolongmu sama sekali dari (siksa) Allah.” (HR. Bukhari no.2753 dan Muslim no.206)

Karenanya, Azar ayah Nabi Ibrahim álaihis salam tetap di Neraka karena kekafirannya, demikian juga putra Nabi Nuh álaihis salam di Neraka karena kekafirannya.

Abul Ábbas Al-Qurthubi (wafat 656 H) berkata :

وَ(قَوْلُهُ – عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ -: إِنَّ أَبِيْ وَأَبَاكَ فِيْ النَّارِ) جَبْرٌ لِلرَّجُلِ مِمَّا أَصَابَهُ،… وَفَائِدَةُ الحَدِيْثِ انْقِطَاعُ الوِلَايَةِ بَيْنَ المُسْلِمِ وَالكَافِرِ وَإِنْ كَانَ قَرِيْـبًا حَمِيْمًا

Dan sabda Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam: “Sesungguhnya ayahku dan ayahmu di neraka”, adalah pelipur-lara bagi orang tersebut atas musibah yang dialaminya… Dan faidah hadis ini adalah terputusnya loyalitas antara muslim dan kafir, meskipun di antara kerabat dekat.” (Al-Mufhim li maa Asykala min Talkhiis Kitaab Muslim, 1/460-461)

Komparasi Ringkas antara Dua Pendapat di Atas

Penulis lebih menguatkan pendapat jumhur (mayoritas) ulama, tentu dengan tetap menghargai pendapat yang menyelisihi. Adapun alasan penulis memilih pendapat jumhur (mayoritas) ulama adalah sebagai berikut:

PERTAMA : Pendapat ini adalah pendapat mayoritas. Jumlah ulama yang menyatakan demikian hingga abad ke-9 atau awal abad ke-10 (hingga wafatnya As-Suyuthi) adalah berjumlah sekitar 40 orang, sementara yang berpendapat dengan pendapat yang berlawanan -yang penulis dapatkan- hanya 3 orang yaitu Al-Qurthubi (wafat 671 H), Ibnu Raslan (wafat 844 H), dan As-Suyuthi (wafat 911 H). Seandainya ada ulama lainnya, tetap saja ia tergolong minoritas.

KEDUA : Sebagian ulama telah menukil ijmak bahwa kesudahan Ahlul Jahiliyah yang meninggal dalam kondisi kafir adalah di Neraka. Diantara para ulama tersebut adalah :

Pertama : Al-Qarafi al-Maliki (wafat 684 H), beliau berkata :

حِكَايَةُ الخِلَافِ فِيْ أَنَّهُ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ كَانَ مُتَعَبَّدًا قَبْلَ نُبُوَّتِهِ بِشَرْعِ مَنْ قَبْلَهُ يَجِبُ أَنْ يَكُوْنَ مَخْصُوْصًا بِالفُرُوْعِ دُوْنَ الأُصُوْلِ، فَإِنَّ قَوَاعِدَ العَقَائِدِ كَانَ النَّاسُ فِيْ الجَاهِلِيَّةِ مُكَلَّفِيْنَ بِهَا إِجْمَاعًا، وَلِذلِكَ انْعَقَدَ الإِجْمَاعُ عَلَى أَنَّ مَوْتَاهُمْ فِيْ النَّارِ يُعَذَّبُوْنَ عَلَى كُفْرِهِمْ، وَلَوْلَا التَّكْلِيْفُ لَمَا عُذِّبُوْا، فَهُوَ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ مُتَعَّبَدٌ بِشَرْعِ مَنْ قَبْلَهُ -بِفَتْحِ البَاءِ -بِمَعْنَى مُكَلَّفٌ لَا مِرْيَةَ فِيْهِ، إِنَّمَا الخِلَافُ فِيْ الفُرُوْعِ خَاصَّةً، فَعُمُوْمُ إِطْلَاقِ العُلَمَاءِ مَخْصُوْصٌ بِالإِجْمَاعِ.

“Penyebutan khilaf tentang apakah Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wasallam dibebani sebelum kenabiannya untuk mengikuti syariat Nabi sebelumnya, haruslah dikhususkan dengan menyebutkan bahwa khilaf tersebut hanya pada masalah furu’ syariat saja, bukan ushul-nya. Karena manusia pada masa Jahiliyyah dibebani dengan pokok-pokok/ushul akidah berdasarkan ijmak ulama. Karenanya ulama sepakat bahwa mereka (kaum Jahiliyyah) yang meninggal dunia (dalam keadaan kafir) berada di Neraka dan diazab karena kekafiran mereka. Seandainya tidak ada taklif (beban syariat) maka tentu mereka tidak diazab.

Jadi kesimpulannya adalah, tidak diragukan lagi bahwa Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wasallam  dibebani dengan ushul syariat sebelum beliau (yakni ajaran tauhid). Adapun yang diperselisihkan oleh para ulama hanyalah dalam furu’ syariat (seperti tata cara dan jenis ibadah) saja. Demikianlah, keumuman ucapan para ulama dikhususkan dengan ijmak.” ([1])

Kedua : Mulla Ali Al-Qari Al-Hanafi juga menukil ijmak ulama bahwa kedua orang tua Nabi shallallāhu ‘alaihi wasallam wafat dalam kondisi musyrik.

Meskipun penukilan ijmak di atas perlu diteliti kembali, akan tetapi paling tidak menunjukan penguatan bahwa pendapat kedua orang tua Nabi wafat dalam kondisi musyrik adalah pendapat mayoritas ulama dan sangat masyhur di kalangan mereka.

Peringatan :

Pernyataan seorang Habib -hafizhahullah (semoga Allah menjaga beliau dalam kebaikan)- bahwa Fakhurrazi (wafat 606 H) berpendapat bahwa kedua orang tua Nabi shallallahu álaihi wasalam wafat dalam kondisi Islam (pada menit : 4.00) adalah kesalahan.

Yang benar justru Fakhrurrazi/Fakhruddin Ar-Razi justru membantah pendapat ini, dan justru menisbatkan pendapat yang dinukil oleh sang Habib kepada sekte Syiáh. Sepertinya sang Habib -hafizhahullah- tidak membaca secara kesuluruhan pernyataan Ar-Razi, sehingga terluput darinya bantahan beliau di akhir pembahasan. Ar-Razi berkata :

قَالَتِ الشِّيعَةُ: إِنَّ أَحَدًا مِنْ آبَاءِ الرَّسُولِ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ وَأَجْدَادِهِ مَا كَانَ كَافِرًا وَأَنْكَرُوا أَنْ يُقَالَ إِنَّ وَالِدَ إِبْرَاهِيمَ كَانَ كَافِرًا وَذَكَرُوا أَنَّ آزَرَ كَانَ عَمَّ إِبْرَاهِيمَ عَلَيْهِ السَّلَامُ

Syiáh berkata, ‘Sesungguhnya tidak seorangpun dari ayah dan kakek-kakek Nabi shallallahu álaihi wasallam yang kafir.

Mereka (Syiáh) juga mengingkari bahwa bapak Nabi Ibrahim álaihis salaam kafir, dan mereka berkata bahwa Azar (yang disebutkan dalam Al-Qur’an) adalah paman Nabi Ibrahim álaihis salaam (bukan bapaknya).” [Tafsir Ar-Raazi (13/32)]

Ar-Razi kemudian mulai menyebutkan dalil-dalil kaum Syiáh akan klaim mereka tersebut.

Setelah itu beliau membantah argumentasi mereka. [Lihat: Tafsir Ar-Raazi (13/33-34)]. Lalu di penghujung bantahan ar-Razi berkata:

وَأَمَّا أَصْحَابُنَا فَقَدْ زَعَمُوا أَنَّ وَالِدَ رَسُولِ اللَّه كَانَ كَافِرًا وَذَكَرُوا أَنَّ نَصَّ الْكِتَابِ فِي هَذِهِ الْآيَةِ تَدُلُّ عَلَى أَنَّ آزَرَ كَانَ كَافِرًا وَكَانَ وَالِدَ إِبْرَاهِيمَ عَلَيْهِ السَّلَامُ.

“Adapun para ulama kami, maka mereka berpendapat bahwa ayah Rasulullah shallallahu álaihi wasallam  adalah kafir. Mereka juga menyebutkan bahwa nas Al-Qur’an dalam ayat ini menunjukkan bahwa Azar adalah kafir, dan Azar adalah ayah Ibrahim ‘alaihis salam.” [Tafsir Ar-Raazi (13/33)]

Demikian juga Ar-Razi berkata tentang putra Nabi Nuh yang tenggelam :

اخْتَلَفُوا فِي أَنَّهُ كَانَ ابْنًا لَهُ، وَفِيهِ أَقْوَالٌ:

الْقَوْلُ الْأَوَّلُ:أَنَّهُ ابْنُهُ فِي الْحَقِيقَةِ، وَالدَّلِيلُ عَلَيْهِ: أَنَّهُ تَعَالَى نَصَّ عَلَيْهِ فَقَالَ: وَنادى نُوحٌ ابْنَهُ ونوح أيضا نص عليه فقال: يا بُنَيَّ وَصَرْفُ هَذَا اللَّفْظِ إِلَى أَنَّهُ رَبَّاهُ، فَأَطْلَقَ عَلَيْهِ اسْمَ الِابْنِ لِهَذَا السَّبَبِ صَرْفٌ لِلْكَلَامِ عَنْ حَقِيقَتِهِ إِلَى مَجَازِهِ مِنْ غَيْرِ ضَرُورَةٍ وَأَنَّهُ لَا يَجُوزُ، وَالَّذِينَ خَالَفُوا هَذَا الظَّاهِرَ إِنَّمَا خَالَفُوهُ لِأَنَّهُمُ اسْتَبْعَدُوا أَنْ يَكُونَ وَلَدُ الرَّسُولِ الْمَعْصُومِ كَافِرًا، وَهَذَا بَعِيدٌ، فَإِنَّهُ ثَبَتَ أَنَّ وَالِدَ رَسُولِنَا صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ كَافِرًا، وَوَالِدَ إِبْرَاهِيمَ عَلَيْهِ السَّلَامُ كَانَ كافرا بنص القرآن، فكَذلِكَ هَاهُنَا

“Para ulama berselisih tentang status putra Nabi Nuh menjadi beberapa pendapat.

Pendapat pertama: Yang disebutkan dalam ayat adalah benar-benar putranya Nabi Nuh.

Dalil pendapat ini, adalah bahwasanya Allah Subhanahu Wa Ta’ala sendiri yang menyatakan hal tersebut. Allah berfirman, ﴿وَنادى نُوحٌ ابْنَهُ﴾ “Dan Nuh menyeru putranya”.

Demikian juga Nabi Nuh sendiri yang menyatakan demikian. Beliau berkata, ﴿يا بُنَيَّ﴾ “Wahai putraku”.

Dan memalingkan makna lafaz/nas (yang jelas) ini kepada “anak didikan” (bukan anak asli), merupakan pemalingan makna suatu lafaz dari makna hakiki kepada makna majaz tanpa ada kebutuhan darurat, dan hal ini tidak diperbolehkan (dalam linguistik Arab).

Mereka yang menyelisihi zahir ayat ini hanya berargumen dengan mengatakan bahwa tidak mungkin seorang rasul yang suci memiliki putra/i yang kafir.

Namun argumentasi ini sangat melenceng (dari kebenaran), karena telah valid bahwa bapak Rasul kita shallallahu álaihi wasallam adalah kafir, dan bapak Nabi Ibrahim alaihis salaam juga kafir berdasarkan nas Al-Qur’an. Maka demikian halnya putra Nabi Nuh alaihissalaam.” [Tafsir Ar-Raazi (17/350)]

KETIGA : Dalil yang menyatakan bahwa orang tua Nabi shallallahu álaihi wasallam  di Neraka bersifat sahih penukilannya nan sharih (jelas/gamblang) narasinya. Diantaranya :

Dalil Pertama : Hadis Anas bin Malik radhiallahu ánhu, beliau berkata :

أَنَّ رَجُلًا قَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ أَيْنَ أَبِيْ؟ قَالَ: فِي النَّارِ. فَلَمَّا قَفَّى دَعَاهُ فَقَالَ: إِنَّ أَبِي وَأَبَاكَ فِي النَّارِ

Bahwasanya seorang lelaki pernah bertanya kepada Rasulullah shallallahu álaihi wasallam: “Wahai Rasulullah, di manakah tempat ayahku (yang telah meninggal) sekarang berada?”

Beliau menjawab, “Di neraka.”

Ketika orang tersebut menyingkir, beliau pun memanggilnya lalu berkata,Sesungguhnya ayahku dan ayahmu di neraka.[2]

Adapun memaknai lafaz أَبِي “ayahku” menjadi عَمِّي “pamanku” dengan dalih bahwa hal ini boleh dalam tinjauan ilmu linguistik Arab, maka bantahannya adalah:

Pertama: Ini adalah bentuk mentakwil. Karena makna ‘ayahku’ pada kata أبِي adalah makna hakikat, sedangkan ‘pamanku’ adalah makna majasi/majaz. Dan hukum asalnya adalah bahwa suatu ucapan dipahami dengan makna hakikat, kecuali jika adanya qarinah (indikasi) yang mengharuskan kita untuk memahaminya dengan makna majasi.

Kedua : Pernyataan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tersebut adalah sebagai pelipur lara bagi si penanya. Jika ternyata yang dimaksud oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam  adalah ‘pamanku’, tentu tujuan ini tidak tercapai, karena semua orang pasti mengetahui perbedaaan antara paman dan ayah.

Ketiga : Seandainya memang maksud Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah ‘pamanku’, pastilah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam akan mengucapkannya dengan jelas. Apa sulitnya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menggunakan lafaz عَمِّي “pamanku”?

Justru jika maksud Nabi  shallallahu ‘alaihi wasallam  dengan lafaz أَبِي ternyata adalah adalah ‘pamanku’, tanpa menyertakan penjelasan tambahan, ucapan ini malah dapat disalah pahami oleh sang penanya tersebut

Adapun kritikan kedua Habib hafizhahumallah- terhadap hadis di atas dengan menyatakan bahwa:

  • Salah satu perawi hadis tersebut adalah Hammaad bin Salamah, dan ia adalah perawi yang buruk hafalannya.
  • Riwayatnya menyelisihi riwayat perawi selainnya dari jalur Ma’mar bin Rasyid yang lebih tsiqah (sebagaimana pernyataan kedua Habib). Dalam riwayat Ma’mar tidaklah menyebutkan lafaz “Ayahku dan ayahmu di Neraka”, akan tetapi lafaznya sebagai berikut:

جَاءَ أَعْرَابِيٌّ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ أَبِي كَانَ يَصِلُ الرَّحِمَ، وَكَانَ وَكَانَ، فَأَيْنَ هُوَ؟ قَالَ «فِي النَّارِ» قَالَ: فَكَأَنَّهُ وَجَدَ مِنْ ذَلِكَ، فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ فَأَيْنَ أَبُوكَ؟ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «حَيْثُمَا مَرَرْتَ بِقَبْرِ مُشْرِكٍ فَبَشِّرْهُ بِالنَّارِ»

“Pernah seorang arab badui datang menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan berkata:

‘Wahai Rasulullah! Sesungguhnya ayahku dahulu adalah orang yang menyambung tali silaturahmi, dan dia melakukan ini dan itu (ia menyebutkan kebaikan-kebaikannya). Di manakah ia?”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab: “Ia di Neraka.”

Ia pun tampak sedih mendengar jawaban tersebut. Lalu ia bertanya: “Kalau begitu, di manakah ayahmu wahai Rasulullah?”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun menjawab: “Setiap kali engkau melewati kuburan orang musyrik, maka kabarkanlah padanya bahwa kesudahannya di Neraka.” ([3])

Pernyataan kedua Habib tentang hal ini sebenarnya mengikuti pernyataan As-Suyuthi dalam berbagai karyanya.

As-Suyuthi menyebutkan bahwa hadis pada Shahih Muslim dengan lafaz “Ayahku dan ayahmu di Neraka” adalah melalui periwayatan : Hammad bin Salamah dari Tsaabit al-Bunaani dari Anas bin Malik.

Sementara riwayat di atas adalah dari jalur Ma’mar bin Rasyid dari Tsabit al-Bunaani dari Anas bin Malik. Dan Ma’mar lebih tsiqah (terpercaya dan kuat hafalannya) dibandingkan Hammad bin Salamah.

Berikut bantahan terhadap pernyataan As-Suyuthi ini dari berapa sisi :

Pertama : Tidak dikenal seorangpun dari ulama yang mendaifkan hadis ini dengan alasan yang disebutkan oleh As-Suyuthi rahimahullah tersebut. Dan ulama yang mensahihkan hadis ini jauh lebih banyak, dan mereka adalah ahli hadis yang lebih diakui senioritas dan keilmuannya tentang ilmu hadis daripada As-Suyuthi.

Kedua : Penulis belum berhasil menemukan riwayat hadis ini melalui jalur Ma’mar dari Tsabit dalam diwan-diwan hadis utama. As-Suyuthi sendiri ketika menyebutkan riwayat ini tidak menyebutkan sumbernya. Karenanya penulis meminta kedua Habib -hafizohumallahu- untuk menyebutkan sumber riwayat tersebut.

Ketiga : Jalur periwayatan yang sahih dari Ma’mar dengan lafaz: “Setiap kali engkau melewati kuburan orang musyrik” telah dinyatakan berstatus mursal oleh Abu Hatim dan Ad-Daraquthni. Sedangkan jalurnya yang muttashil (bersambung) sampai Nabi Shallallahu ‘alaihi Wa Sallam adalah daif.

Abu Hatim berkata:

كَذَا رَوَاهُ يَزِيدُ، وابنُ أَبِي نُعَيم، وَلَا أعلَمُ أَحَدًا يُجاوِزُ بِهِ الزُّهريَّ غيرَهما؛ إِنَّمَا يَرْوُوْنَهُ عَنِ الزُّهريِّ؛ قَالَ: جَاءَ أعرابيٌّ إلى النبيِّ، والمُرسَلُ أشبهُ.

Demikianlah, hanya Yazid dan Ibnu Abi Nu’aim yang aku ketahui meriwayatkannya secara muttashil kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi Wa Sallam. Sedangkan mayoritas perawi lainnya hanya menyambung sanadnya hingga Az-Zuhri, (yakni secara mursal, bukan muttashil), bahwa Az-Zuhri berkata: Suatu ketika seorang arab badui menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam…dst. Dan riwayat mursal lebih kuat dibandingkan riwayat yang muttashil.” ([4])

Berkata Ad-Daraquthni:

يَرْوِيهِ مُحَمَّدُ بْنُ أَبِي نُعَيْمٍ، وَالْوَلِيدُ بْنُ عَطَاءِ بْنِ الْأَغَرِّ، عَنْ إِبْرَاهِيمَ بْنِ سَعْدٍ، وَغَيْرُهُ يَرْوِيهِ عَنْ إِبْرَاهِيمَ بْنِ سَعْدٍ، عَنِ الزُّهْرِيِّ مُرْسَلًا، وَهُوَ الصَّوَابُ.

“Riwayat Muhammad bin Abi Nu’aim, dan Al-Walid bin Atha’ bin Al-Agharr hanya sampai kepada Ibrahim bin Sa’d.

Dan selain keduanya meriwayatkan dari Ibrahim bin Sa’d, dari Az-Zuhri secara mursal. Dan inilah yang benar.”([5])

Keempat : Argumentasi Imam As-Suyuthi rahimahullah pun terkesan aneh nan ganjil dalam tinjauan ilmu hadis. Karena telah masyhur di kalangan ahli hadis bahwa Hammad bin Salamah adalah murid paling tsiqah dari Tsabit Al-Bunani. Sebaliknya, justru riwayat Ma’mar dari Tsabit al-Bunani adalah riwayat yang lemah. Berikut pernyataan para ulama:

Imam Ahmad berkata :

حَمَّاد بن سَلمَة أَثْبَتُ النَّاسِ فِي ثَابِتٍ الْبُنَانِيّ

“Hammad bin Salamah adalah orang yang paling tsabit (paling kuat dan sahih hadisnya) dalam meriwayatkan hadis dari Tsabit Al-Bunani.”([6])

Hal senada juga dinyatakan oleh Abu Hatim Ar-Razi ([7]) , Adz-Dzahabi, ([8]) dan Ibnu Hajar Al-Asqolani. ([9])

Imam Muslim (penulis Shahih Muslim) berkata:

وَالدَّلِيلُ عَلَى مَا بَيَّنَّا مِنْ هَذَا، اِجْتِمَاعُ أَهْلِ الحَدِيثِ وَمِنْ عُلَمَائهمْ على أَنَّ أَثْبَتَ النَّاسِ فِي ثَابت الْبنانِيّ حَمَّاد بن سَلمَة، وَكَذَلِكَ قَالَ يحيى الْقطَّان وَيحيى بن معِين وَأحمد بن حَنْبَل وَغَيرهم من أهل الْمعرفَة. وَحَمَّاد يُعَدُّ عِنْدهم إِذا حَدَّثَ عَن غير ثَابتٍ كحديثه عَن قَتَادَة وَأَيوب وَيُونُس وَدَاوُد بن أبي هِنْد والجريري وَيحيى بن سعيد وَعَمْرو بن دِينَار وأشباههم فَإِنَّهُ يُخْطِئُ فِي حَدِيثهمْ كثيرا

“Dalil yang menguatkan apa yang telah kami katakan adalah: kesepakatan ahli hadis dan ulama pakar hadis bahwa murid yang paling kuat dan paling sahih periwayatannya dari Tsabit Al-Bunani adalah Hammad bin Salamah, sebagaimana demikian dikatakan oleh Yahya Al-Qaththan, Yahya bin Ma’in, Ahmad bin Hanbal dan para pakar hadis lainnya.

Mereka juga mengatakan bahwa jika Hammad meriwayatkan dari guru lainnya selain Tsabit, seperti Qatadah, Yunus, Dawud bin Abi Hind, Al-Jariri, Yahya bin Sa’id, ‘Amr bin Dinar, dan yang semisal mereka, maka memang riwayatnya banyak mengandung kesalahan (berbeda dengan riwayatnya dari Tsabit Al-Bunani).”([10])

Berkata Yahya bin Ma’in:

من خَالف حَمَّاد بن سَلمَة فِي ثَابتٍ، فَالْقَوْل قَولُ حَمَّادٍ. قيل لَهُ: فسليمان بن مُغيرَة عَن ثَابت؟ قَالَ سُلَيْمَان ثَبْتٌ، وَحَمَّاد أعلم النَّاس بِثَابِت.

Siapa pun yang meriwayatkan sesuatu dari Tsabit, akan tetapi riwayatnya tersebut berbeda dengan apa yang diriwayatkan oleh Hammad dari Tsabit, maka ketahuilah bahwa riwayat Hammad lah yang benar.”

Lalu Yahya bin Ma’in ditanya kembali: “Bagaimana jika riwayat Hammad dari Tsabit berbeda dengan periwayatan Sulaiman bin Al-Mughirah dari Tsabit, mana yang lebih didahulukan?”

Beliau menjawab: “Memang Sulaiman adalah perawi yang tsabt (kuat hafalannya), hanya saja Hammad adalah murid yang paling tahu akan hadis-hadis Tsabit.” ([11])

Kesimpulan: Riwayat dari Tsabit yang tersahih adalah yang diriwayatkan darinya oleh Hammad, sebagaimana demikianlah hal yang masyhur di kalangan ahli hadis, bahkan Imam Muslim menukil ijmak ahli hadis akan hal tersebut.

Berkata Imam ‘Ali bin Al Madini:

لَمْ يَكُنْ فِي أَصْحَابِ ثَابِتٍ أَثْبَتَ مِنْ حَمَّادِ ابْن سَلَمَةَ ثُمَّ بَعْدَهُ سُلَيْمَانُ بْنُ الْمُغِيرَةَ ثُمَّ بَعْدَهُ حَمَّادُ بْنُ زَيْدٍ وَهِيَ صِحَاحٌ

“Tidak ada murid Tsabit yang lebih kuat dan sahih periwayatannya dari Hammad bin Salamah, kemudian pada level selanjutnya adalah Sulaiman bin Al-Mughirah, kemudian setelahnya Hammad bin Zaid, dan semua hadis mereka dari Tsabit adalah sahih.” ([12])

Kelima : Seandainya memang ada riwayat hadis ini melalui jalur Ma’mar dari Tsabit, tetap saja periwayatan Ma’mar bin Rasyid dari Tsabit Al-Bunani telah dinilai daif (lemah) oleh ahli hadis.

‘Ali bin Al-Madini berkata :

وَفِي أَحَادِيثِ مَعْمَرٍ عَنْ ثَابِتٍ أَحَادِيثُ غَرَائِبٌ وَمُنْكَرَةٌ

“Dan pada hadis-hadis yang diriwayatkan oleh Ma’mar dari Tsabit terdapat hadis-hadis yang gharib dan munkar.” ([13])

Ibnu Rajab berkata :

وَمِنْهُمْ مَعْمَر بْن رَاشِدٍ. وَضُعِّفَ حَدِيْثُهُ عَنْ ثَابِتٍ خَاصَّةً.

Dan di antara mereka adalah Ma’mar bin Rosyid. Dan terkhusus hadis-hadisnya dari Tsabit, telah dinyatakan daif oleh para ahli hadis. ([14])

Demikian juga pernyataan Ibnu Ma’in([15]), Ibnu Asakir([16]), Ibnu Rajab Al Hanbali([17]), ‘Alauddin Mughlathoy Al-Hanafi ([18]), dan Ibnu Hajar Al-Asqalani. ([19])

Kesimpulan:

Dengan dua alasan ini, yakni Hammad adalah perawi terkuat dari Tsabit dan riwayat Ma’mar dari Tsabit dipermasalahkan, dapat disimpulkan bahwa lafaz “Ayahku dan ayahmu di neraka” sama sekali tidaklah syadz, bahkan ia adalah riwayat yang sahih, dan justru riwayat Ma’mar lah yang harus dinyatakan syadz.

Hal ini jika memang riwayat dari Ma’mar dari Tsabit dengan lafazh yang disebutkan diatas memang ada. Penulis sendiri sampai saat ini belum menemukan riwayat tersebut.

Keenam : Meskipun telah sahih riwayat dari jalur Ma’mar dari Az-Zuhri, yaitu dengan lafaz:

جَاءَ أَعْرَابِيٌّ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ أَبِي كَانَ يَصِلُ الرَّحِمَ، وَكَانَ وَكَانَ، فَأَيْنَ هُوَ؟ قَالَ «فِي النَّارِ» قَالَ: فَكَأَنَّهُ وَجَدَ مِنْ ذَلِكَ، فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ فَأَيْنَ أَبُوكَ؟ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «حَيْثُمَا مَرَرْتَ بِقَبْرِ مُشْرِكٍ فَبَشِّرْهُ بِالنَّارِ»

“Pernah seorang arab badui datang menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan berkata:

‘Wahai Rasulullah! Sesungguhnya ayahku dahulu adalah orang yang menyambung tali silaturahmi, dan dia melakukan ini dan itu (ia menyebutkan kebaikan-kebaikannya). Di manakah ia?”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab: “Ia di Neraka.”

Ia pun tampak sedih mendengar jawaban tersebut. Lalu ia bertanya: “Kalau begitu, di manakah ayahmu wahai Rasulullah?”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun menjawab: “Setiap kali engkau melewati kuburan orang musyrik, maka kabarkanlah padanya bahwa kesudahannya di Neraka.” ([20])

Jawabannya :

Lafaz hadis ini “Setiap kali engkau melewati kuburan orang musyrik” bersifat umum, sehingga mencakup setiap musyrik yang dilewati oleh orang tersebut, termasuk ayah Nabi Shallallahu ‘alaihi Wa Sallam, sebagaimana yang dijelaskan dalam  hadis Hammad bin Salamah dengan lafaz (Ayahku dan ayahmu di neraka). Dengan kata lain, kedua riwayat ini dapat dikompromikan sehingga tidak saling bertentangan.

Jika seseorang ingin mengecualikan ayah Nabi Shallallahu ‘alaihi Wa Sallam dari keumuman lafaz tersebut, maka ia harus membawakan dalil tentang itu.

Dalil Kedua : Hadis Abu Hurairah radhiallahu ánhu, beliau berkata:

زَارَ النَّبِيُّ قَبْرَ أُمِّهِ فَبَكَى وَأَبْكَى مَنْ حَوْلَهُ فَقَالَ: اسْتَأْذَنْتُ رَبِّي فِيْ أَنْ أَسْتَغْفِرَ لَهَا فَلَمْ يُؤْذَنْ لِيْ، وَاسْتَأْذَنْتُهُ فِيْ أَنْ أَزُوْرَ قَبْرَهَا فَأُذِنَ لِيْ. فَزُوْرُوْا الْقُبُوْرَ، فَإِنَّهَا تُذَكِّرُ الْمَوْتَ.

“Suatu ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi Wa Sallam pernah menziarahi kubur ibunya, beliau pun menangis dan membuat orang yang berada di sampingnya juga turut menangis. Kemudian beliau bersabda: ‘Saya meminta izin kepada Rabbku untuk memohonkan ampunan bagi ibuku, akan tetapi saya tidak diberi izin untuk hal itu. Kemudian saya meminta izin kepada-Nya untuk menziarahi kuburnya, aku pun diizinkan untuk itu. Berziarahlah! Karena (ziarah kubur) dapat mengingatkan kalian akan kematian.’” (HR. Imam Muslim dalam Shahîh-nya (976–977).

Dan yang semakna dengan hadis Abu Hurairah di atas adalah hadis Buraidah bin Al-Hushaib radhiallahu ánhu, beliau berkata :

كُنَّا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَنَزَلَ بِنَا وَنَحْنُ مَعَهُ قَرِيبٌ مِنْ أَلْفِ رَاكِبٍ فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ، ثُمَّ أَقْبَلَ عَلَيْنَا بِوَجْهِهِ وَعَيْنَاهُ تَذْرِفَانِ فَقَامَ إِلَيْهِ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ فَفَدَاهُ بِالْأَبِ وَالْأُمِّ يَقُولُ: يَا رَسُولَ اللهِ مَا لَكَ؟ قَالَ: ” إِنِّي سَأَلْتُ رَبِّي فِي اسْتِغْفَارٍ لِأُمِّي، فَلَمْ يَأْذَنْ لِي، فَدَمَعَتْ عَيْنَايَ رَحْمَةً لَهَا مِنَ النَّارِ

“Suatu ketika kami bersafar bersama Nabi shallallahu álaihi wasallam. Nabi Shallallahu ‘alaihi Wa Sallam pun singgah di suatu tempat, sementara jumlah kami sekitar seribu pengendara. Beliau pun shalat dua rakaat, lalu menghadapkan wajahnya kepada kami, sementara kedua matanya mengalirkan air mata.

Maka Umar bin al-Khottob pun mendekati beliau seraya mengatakan: “Wahai Rasulullah, ayah dan ibuku sebagai tebusanmu![21] Ada apakah gerangan?”

Nabi shallallahu álaihi wasallam berkata, “Sesungguhnya aku memohon kepada Rabbku untuk memintakan ampunan bagi ibuku, namun Allah tidak mengizinkan aku, maka akupun menangis karena kasihan mengingat kesudahannya kelak di Neraka.” (HR. Ahmad no.23003 dengan sanad yang sahih)

Kedua hadis tersebut sangat jelas menyebutkan bahwasanya ibu Nabi Shallallahu ‘alaihi Wa Sallam wafat dalam kondisi musyrik, sehingga Nabi Shallallahu ‘alaihi Wa Sallam tidak diizinkan untuk beristighfar bagi ibunya. Hal inilah yang membuat Nabi Shallallahu ‘alaihi Wa Sallam menangis. Bahkan dalam riwayat Buraidah jelas dinyatakan dengan jelas bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi Wa Sallam menangisi ibunya yang akan berakhir di Neraka.

KEEMPAT : Kekuatan dalil-dalil pendapat kedua (yaitu bahwa orang tua Nabi di surga) tidaklah seberapa untuk dihadapkan dengan dalil-dalil pendapat pertama.

Berikut ini dalil-dalil mereka:

Dalil Pertama : Firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala:

﴿وَمَا كُنَّا مُعَذِّبِينَ حَتَّى نَبْعَثَ رَسُولًا﴾

{dan Kami tidak akan mengazab sebelum Kami mengutus seorang rasul} (QS. Al-Israa’: 15)

Sementara kedua orang tua Nabi shallallahu álaihi wasallam hidup di masa fatroh (hampa dari utusan dan syariat Allah), sehingga mereka tidak bisa divonis kafir.

Jawab :

Pertama : Ayat ini umum, sementara hadis-hadis yang menjelaskan status kedua orang tua Nabi Shallallahu ‘alaihi Wa Sallam yang wafat dalam keadaan kafir bersifat spesifik (khusus). Dan menggolongkan seseorang tertentu sebagai ahlul fatrah membutuhkan dalil khusus nan spesifik.

Kedua :  Kepastian akan tersisanya syariat Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail hingga zaman kedua orang tua Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wa Sallam adalah perkara gaib. Akan tetapi fakta-fakta sejarah lebih menguatkan bahwa dakwah tersebut masih tetap eksis hingga diutusnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wa Sallam, walau tanpa adanya Rasul atau pun Nabi.

Berikut beberapa indikasi yang menguatkan hal tersebut:

  1. Mekkah adalah salah satu asal muasal penyebaran dakwah tauhid. Ini ditandai dengan Ka’bah yang dibangun oleh Nabi Ibrahim bersama putranya, yaitu Nabi Ismail.
  2. Kaum Quraisy (termasuk Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wa Sallam dan keluarga besarnya) adalah keturunan Nabi Ismail alaihis salaam. Dan ini adalah indikasi yang kuat akan tersisanya ajaran tauhid hingga zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wa Sallam, yakni besar kemungkinan akan senantiasa adanya golongan yang bertauhid dari keturunan Nabi Ismail di Mekkah atau sekitarnya hingga zaman diutusnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wa Sallam.
  3. Adanya orang-orang yang Nabi shallallahu álaihi wasallam sebutkan bahwa mereka akan berakhir di Neraka, padahal mereka wafat sebelum diutusnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wa Sallam. Seperti ayah dan ibu Nabi Shallallahu ‘alaihi Wa Sallam, Ámr bin Luhay Al-Khuzaí([22]), Ibnu Jud’an([23]), dan ayah dari lelaki yang bertanya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi Wa Sallam tentang kesudahan ayahnya.
  4. Bahkan ada hadis umum yang mengesankan bahwa semua orang musyrik di Mekkah ketika itu di neraka, yaitu sabda Nabi shallallahu álaihi wasallam:

    حَيْثُمَا مَرَرْتَ بِقَبْرِ مُشْرِكٍ فَبَشِّرْهُ بِالنَّارِ

    “Setiap kali engkau melewati kuburan orang musyrik, maka kabarkanlah kepadanya neraka”. ([24])

  5. Adanya orang-orang di masa fatroh yang masih istikamah di atas tauhid, seperti Al-Qus bin Saídah, Zaid bin ‘Amr bin Nufail, Rasulullah shallallahu álaihi wasallam sendiri, Waraqah bin Naufal, dll.
    Ibnu Umar berkata:

    أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَقِيَ زَيْدَ بْنَ عَمْرِو بْنِ نُفَيْلٍ بِأَسْفَلِ بَلْدَحٍ، قَبْلَ أَنْ يَنْزِلَ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الوَحْيُ، فَقُدِّمَتْ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سُفْرَةٌ، فَأَبَى أَنْ يَأْكُلَ مِنْهَا، ثُمَّ قَالَ زَيْدٌ: إِنِّي لَسْتُ آكُلُ مِمَّا تَذْبَحُونَ عَلَى أَنْصَابِكُمْ، وَلاَ آكُلُ إِلَّا مَا ذُكِرَ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ، وَأَنَّ زَيْدَ بْنَ عَمْرٍو كَانَ يَعِيبُ عَلَى قُرَيْشٍ ذَبَائِحَهُمْ، وَيَقُولُ: الشَّاةُ خَلَقَهَا اللَّهُ، وَأَنْزَلَ لَهَا مِنَ السَّمَاءِ المَاءَ، وَأَنْبَتَ لَهَا مِنَ الأَرْضِ، ثُمَّ تَذْبَحُونَهَا عَلَى غَيْرِ اسْمِ اللَّهِ، إِنْكَارًا لِذَلِكَ وَإِعْظَامًا لَهُ

    “Suatu ketika Nabi shallahu álaihi wasallam bertemu dengan Zaid bin Amr bin Nufail di bawah lembah Baldah, sebelum wahyu turun kepada beliau.  Kemudian makanan dihidangkan kepada Nabi shallallahu álaihi wasallam, namun Zaid enggan memakannya seraya berkata:
    ‘Sesungguhnya aku tidak akan memakan apa yang kalian sembelih sebagai persembahan untuk berhala-berhala kalian. Aku hanyalah memakan sesembelihan yang disembelih dengan menyebut nama Allah.’
    Dan sesungguhnya Zaid bin Ámr dahulu mencela sembelihan-sembelihan Quraisy dengan mengatakan,
    ‘Allah lah yang menciptakan kambing, Allah lah yang menurunkan hujan dari langit, dan Allah yang menumbuhkan rumput sebagai makanannya. Lalu kalian malah menyembelihanya tidak dengan nama Allah?!’
    Zaid sangat mengingkari perbuatan mereka tersebut dan mengganggap besar kesalahan tersebut.” (HR. Al-Bukhari no.3826)

    Asmaa’ bintu Abi Bakar berkata :

    رَأَيْتُ زَيْدَ بْنَ عَمْرِو بْنِ نُفَيْلٍ قَائِمًا مُسْنِدًا ظَهْرَهُ إِلَى الكَعْبَةِ يَقُولُ: يَا مَعَاشِرَ قُرَيْشٍ، وَاللَّهِ مَا مِنْكُمْ عَلَى دِينِ إِبْرَاهِيمَ غَيْرِي، وَكَانَ يُحْيِي المَوْءُودَةَ، يَقُولُ لِلرَّجُلِ إِذَا أَرَادَ أَنْ يَقْتُلَ ابْنَتَهُ، لاَ تَقْتُلْهَا، أَنَا أَكْفِيكَهَا مَئُونَتَهَا، فَيَأْخُذُهَا فَإِذَا تَرَعْرَعَتْ قَالَ لِأَبِيهَا: إِنْ شِئْتَ دَفَعْتُهَا إِلَيْكَ، وَإِنْ شِئْتَ كَفَيْتُكَ مَئُونَتَهَا

    “Aku melihat Zaid bin Ámr bin Nufail sedang berdiri dengan menyandarkan punggungnya kepada Ka’bah seraya berkata, “Wahai kaum Quraisy, demi Allah tidak seorangpun dari kalian yang berada di atas agama Ibrahim selain aku”. Dan beliau termasuk orang yang tidak mengubur anak perempuan hidup-hidup. Ia biasa mengatakan kepada seseorang yang ingin membunuh putrinya, “Jangan kau bunuh dia! Biarlah aku yang akan mengurusnya”. Lalu ia pun mengasuh anak perempuan tersebut. Ketika anak perempuan tersebut sudah tumbuh besar, maka Zaid berkata kepada bapaknya, “Kalau kau mau aku akan kembalikan putrimu. Jika tidak, akulah yang akan melanjutkan pemeliharaannya.” (HR. Al-Bukhari no.3828)

    Ibnu Hajar berkata, “Zaid bin Ámr bin Nufail adalah sepupunya Umar bin al-Khottob bin Nufai, dan beliau adalah ayah dari Saíd bin Zaid yang termasuk 10 sahabat yang dijamin masuk surga. Beliau termasuk orang-orang yang mempelajari tauhid dan meninggalkan berhala serta menjauhi kesyirikan, akan tetapi beliau wafat sebelum Nabi Shallallahu ‘alaihi Wa Sallam diutus.” (Fathul Baari 7/143)

    Kedua hadis di atas menunjukan bahwa Zaid bin Ámr bin Nufail tidak hanya bertauhid, akan tetapi beliau juga mendakwahi kaum Quraisy untuk meninggalkan kesyirikan mereka sembari mengingatkan mereka akan agama nenek moyang mereka, yakni Nabi Ibrahim álaihis salam.

  6. Pernyataan Zaid -di masa fatroh- kepada kaum Quraisy bahwa mereka tidak berada di atas agama Nabi Ibrahim, mengisyaratkan bahwa mereka mengetahui dengan pasti bahwa kesyirikan yang mereka lakukan bukanlah ajaran Nabi Ibrahim. Karena jika mereka tidak mengetahui hal itu dan menyangka bahwa praktek kesyirikan mereka adalah ajaran Nabi Ibrahim, tentunya mereka akan membantah Zaid bin Nufail, karena Nabi Ibrahim adalah nenek moyang mereka semua.Hal ini dikuatkan dengan dalih mereka untuk menolak syariat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wa Sallam. Mereka hanyalah menisbatkan kesyirikan tersebut kepada nenek moyang mereka yang juga musyrik.Allah berfirman:

    ﴿وَإِذَا فَعَلُوا فَاحِشَةً قَالُوا وَجَدْنَا عَلَيْهَا آبَاءَنَا وَاللَّهُ أَمَرَنَا بِهَا قُلْ إِنَّ اللَّهَ لَا يَأْمُرُ بِالْفَحْشَاءِ أَتَقُولُونَ عَلَى اللَّهِ مَا لَا تَعْلَمُونَ﴾

    {Dan jika mereka melakukan keb

    Artikel asli: https://firanda.com/4056-wahabi-orang-goblok-sebuah-pencerahan.html